Lost in Mecca

Ada keharuan tersendiri manakala bersama-sama ayah dan ibu, juga jama’ah haji lainnya berjalan menuju Masjidil Haram. Meski diserang rasa kantuk karena kami hanya sempat beristirahat tidak lebih dari satu jam, namun keinginan untuk segera memasuki Rumah Allah dan melihat langsung Ka’bah, segera saja rasa kantuk itu lenyap. Jarak pondokan kami menuju Masjidil Haram hanya berjarak 1,5 KM. Jalannya berbukit, bahkan tanjakannya ada yang mendekati 60 derajat, cukup curam memang. Bagi kawan-kawan yang tidak terbiasa berjalan kaki dengan tanjakan curam sebesar itu, sudah dipastikan akan berhenti di tengah tanjakan, mengambil jeda istirahat. Atau mempersiapkan bekal lebih. Seperti itu juga yang dilakukan kebanyakan jama’ah haji seluruh dunia. Bahkan ada yang rela mengangkut dua-tiga jiriken untuk bekal air minum. Padahal di dalam Masjidil Haram sendiri melimpah air zamzam. Gratis!

Pada awal-awal prosesi ibadah haji, kami berangkat ke Masjidil Haram tepat pukul 3 dini hari. Jika di Indonesia, jam-jam itu masjid masih tertutup, namun tidak di Masjidil Haram, bahkan kami tidak dapat masuk ke area dalam masjid karena saking penuhnya. Usai sholat Subuh berjama’ah, kami bersiap untuk masuk ke dalam. Memulai thawaf pertama sejak kami tiba di tanah Makkah Al Mukaromah. Ketua rombongan mulai memberikan instruksi yang intinya apapun yang terjadi harus tetap sami’na wa atho’na terhadap segala yang diperintahkan ketua. Jangan sampai ada yang keluar dari rombongan karena hal ini akan menyulitkan pencarian karena hari pertama kami tiba, Masjidil Haram sedang penuh-penuhnya jama’ah. Berbeda jika prosesi ibadah haji telah usai. Setelah pengarahan selesai, kami pun beriringan masuk.

Saya pribadi sempat tercenung melihat area terdalam Masjidil Haram. Subhanallah… mushaf berjejer rapi di tiap tiang penyangga masjid dan beberapa rak yang melingkar rapi di sudut-sudut area Masjid. Tempat wudhunya juga terpisah dan sangat bersih. Airnya sejuk, khas zamzam. Kami disini wudhu dan menghilangkan dahaga dengan satu mata air, mata air Zamzam. Subhanallah… mata yang terserang kantuk seketika terbuka manakala terciprat air suci ini. Karena area terdekat Ka’bah penuh sesak dengan jama’ah haji, kami mengambil posisi thawaf di lantai dua. Itu pun masih terbilang penuh namun masih aman karena tidak terlalu sesak.

Pada putaran pertama, kami masih dalam satu rombongan. Putaran kedua, putaran ketiga, dan memasuki putaran keempat rombongan kami mulai kacau. Ada beberapa jama’ah yang tertinggal, termasuk saya, ayah dan ibu. Jujur saja, kami tidak begitu paham jika thawaf seharusnya dengan berlari-lari kecil. Namun, karena jarang berjalan kaki, walhasil kami cepat lelah dan mengambil cara hanya dengan berjalan cepat. Padahal jama’ah lain semuanya berlari-lari kecil. Walhasil kami tertinggal jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk thawaf sendiri tanpa mengikuti rombongan. Suatu keputusan yang terbilang nekat. Saya juga tidak bisa membiarkan kondisi ibu yang tampak lelah dan agak pucat. Maklum saja, ibu tergolong mudah sakit jika terlalu lelah. 11 jam penerbangan, tiba di bandara kami diharuskan segera mandi dan berihram, berebut memasuki bus yang mengantarkan kami sampai di pondokan dengan jarak tempuh sekitar 3-4 jam, dan hanya beristirahat kurang dari 1 jam. Bagi yang tidak terbiasa semacam ibu, jelas akan lekas capek. Ditambah dengan kondisi udara yang berbeda jauh dengan iklim di Indonesia. Jetlag istilah kerennya.

Setelah melakukan thawaf, kami (maksunya saya, ayah dan ibu karena kami tertinggal rombongan) mulai bergerak untuk sa’i. Kami mencari tempat sa’i, bukit Shafa dan Marwa. Berbekal bahasa inggris dan bahasa arab yang masih abal-abal, akhirnya setelah berputar-putar, kami berhasil menemukannya. Kami pun mengikuti arus jama’ah haji lainnya. Memulai sa’i sambil merenungkan kisah Ibu Hajjar dan putranya, Nabi Ismail as. Setelah usai sa’i, kami pun bergegas untuk mencari jalan pulang, mencari pintu keluar area Masjidil Haram. Kami lupa bahwa posisi kami di lantai dua. Kami sempat berputar-putar di lapis luar pertama area Masjidil Haram. Kami, terutama saya dan ibu mulai panik karena tak kunjung menemukan pintu keluar utama. Padahal kunci kamar pondokan ada di saku saya. Saya sudah membayangkan akan mendapat cacian dari jama’ah haji yang satu kamar dengan saya dan ibu. Keteledoran kami karena tidak sami’na wa atho’na kepada pemimpin rombongan berbuah musibah. Kecil namun cukup untuk menegur kami agar tidak sembrono mengambil keputusan. Apalagi ini negri asing bagi kami.

Setelah kelelahan, terus beristighfar karena kekhilafahan kami hari ini, kami berhasil menemukan jalan keluar. Kami tiba di pondokan tepat adzan Maghrib. Saya bersyukur tidak ada jama’ah yang mendamprat, apalagi mendamprat ibu yang sudah terlanjur kelelahan.

Astaghfirullah…

Subhanallah wal hamdulillah…

About Mujahidah 'Ilmiy

Berjuang, berdakwah dengan keilmuan Lihat semua pos milik Mujahidah 'Ilmiy

2 responses to “Lost in Mecca

Tinggalkan komentar