Category Archives: Sisi Lain Kulyahku

Jalan-jalan, yuk!

Boleh dikatakan, hampir semua orang menyukai aktivitas yang satu ini. Jalan-jala alias rihlah. Ada sebagian melakukannya untuk mengusir kejenuhan, sebagian lagi karena memang sudah tuntutan tugas. Biasanya para awak media atau para pebisnis yang memiliki tingkat mobilitas lebih tinggi dari profesi lainnya. Tapi bagi saya, jalan-jalan bukan sekedar tugas dari seorang awak media, tapi juga pembangkit semangat dan pencarian inspirasi dari ayat-ayat Allah Swt. yang tersebar di penjuru bumi.

Bisa jadi, beberapa orang bilang, jalan-jalan hanya akan membuang waktu dan biaya. Tapi hal itu tidak akan dialami jika kita mampu memenej dengan baik perjalanan kita, dari perencanaan hingga evaluasi atas hasil yang kita dapatkan dari perjalanan kita. Sekedar kelelahan fisik saja?Atau justru kita membawa sejuta hikmah yang siap dibagi kepada kawan-kawan, entah lewat kreatifitas fotografi maupun tulisan menggugah? It depends on ourself.

Kerapkali ditengah kejenuhan aktivitas monoton perkulyahan, saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan. Yaa, meskipun hanya disekitar kampus atau ke Semarang bawah, yang penting bisa menghirup udara di luar, menikmati hiruk pikuk manusia dengan segala aktivitasnya. Hasilnya? Alhamdulillah selama ini ada banyak ide tulisan yang saya dapatkan dari jalan-jalan itu. Memang dimana saja saya terbiasa jalan-jalan?Tergantung budget. Ya iyalah… jangan asal jalan-jalan karna bisa-bisa yang kita hasilkan hanya buang-buang waktu, tenaga dan uang tentu saja. Biasanya saya membiasakan jalan-jalan ke toko buku langganan. Tapi yang ini tidak saya sarankan jika kantong kawan-kawan sedang cekak dan tidak bisa menahan hasrat untuk membeli buku, apalagi para penggila buku. Selain toko buku, tempat lain adalah bangunan-bangunan bersejarah. Melihat-lihat bangunan tua nan antik memang memberikan sensasi tersendiri, apalagi bagi para penggemar sejarah. Kita bisa sekaligus membayangkan suasana saat bangunan-bangunan tua itu masih berfungsi. Jika sedang berkantong tebal, tidak ada salahnya jalan-jalan ke luar kota, apalagi jika kita mendapatkan tugas untuk meliput kegiatan di luar kota ditambah dengan ongkos PP yang ditanggung pihak ketiga, sikat saja! Hal ini juga dengan pertimbangan tidak mengganggu prioritas kewajiban utama kita dan sudah mendapat restu orangtua, supaya tugas dan perjalanan kita menjadi lebih berkah.

Masih banyak lagi tempat untuk jalan-jalan yang full inspirasi, tapi saya tidak menyarankan ke mall-mall karena justru lebih banyak konsumtifnya daripada inspiratifnya. Bahkan saya pribadi menghindari toko buku yang satu atap dengan mall. Justru sangat merekomendasikan jalan-jalan di alam terbuka, mentadaburri ayat-ayat Allah Swt. lewat bentangan alam atau aspek sosial masyarakat sekitarnya.

Jangan lupakan juga ibadah wajib seperti sholat, karena sholat tidak jarang malah ditinggalkan ketika kita sedang jalan-jalan, apalagi jika perjalanan jarak jauh menggunakan kendaraan. Pergunakan kemudahan-kemudahan yang sesuai dengan syari’at, seperti tayammum, sholat di jamak maupun sholat di atas kendaraan. Semuanya sudah tersedia aturannya dalam buku-buku fiqh. Semoga perjalanan kita memperoleh keberkahan dan full inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.aamiin…

Wallahu’alam


Nggampangin yang Gampang

Satu hal lagi saya temukan, yang menjadi penyebab peradaban Islam kesulitan menemui kejayaannya kembali. Untuk mudahnya, saya lebih suka menyebut dengan “nggampangin yang sudah gampang”.

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kulyah hari ini membuat saya geram dan kehilangan respect. Jam perkulyahan saya memang terbilang nabrak dengan waktu sholat Maghrib. Biasanya, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 18.00, dosen akan segera menutup perkulyahan. Lain halnya dengan hari ini. Maklum saja, dosennya non-muslim. Tapi saya masih bisa respect karena beliau memberikan kesempatan untuk menunaikan sholat Maghrib meski dalam hitungan waktu sudah sangat mepet dengan waktu mulainya sholat Isya. Dan memang benar, sekitar 10 menit lepas saya sholat Maghrib, adzan Isya berkumandang sayup-sayup Alhamdulillah…setidaknya saya tidak tertinggal sholat Maghrib.

Lantas apa yang membuat saya geram dan kehilangan respect? Manakala dosen menawarkan untuk break atau dilanjut, masy’ul kelas saya mengajukan pilihan untuk meneruskan kulyah dan menjama’ sholat Maghrib di waktu Isya. Spontan saya langsung tidak setuju dengan pilihan yang tidak masuk akal dan sangat tidak syar’i itu. Menjama’ memang salah satu bentuk kemudahan dari Allah Swt. bagi kaum muslimin yang tengah berada dalam perjalanan, perang, atau hal-hal yang menyebabkan ia terhalang untuk sholat sesuai dengan waktunya. Namun jika hanya karena menuntut ilmu, apalagi ilmu dunia, lantas kita mengambil kemudahan itu, rasa-rasanya kita perlu mengevaluasi kembali keimanan kita. Sebegitu murahnya akhirat hingga dengan mudahnya ditukar dengan urusan dunia?!? Tinjaulah kembali niat kita, tinjaulah kembali untuk apa kita hidup, untuk apa kita menuntut ilmu, untuk apa kita bekerja? Untuk dunia kah?Atau untuk kehidupan setelah kematian?Kehidupan yang lebih pasti dan lebih kekal.

Apakah kita bisa menjamin jika kita menjama’ sholat di rumah, kita bisa sampai di rumah dengan selamat?Bagaimana jika Allah Swt. menginginkan kita agar dijemput lebih dulu menghadap-Nya untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang sudah kita lakukan dalam hidup? Bersediakah kita jika Izrail menjemput kita dalam keadaan cinta dunia&lupa akan tujuan sejati kita hidup?

Perbanyaklah istighfar kawan..bulan ini adalah bulan Dzulhijah, bulan dimana Nabi Ibrahim justru lebih memilih kepatuhan kepada Allah Swt. melebihi kasih sayangnya kepada Nabi Ismail as. Sudah sepatutnya jika kita lebih banyak bermuahasabah, mengambil ibroh dari hari-hari menjelang Idul Adha, mengambil teladan dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as.

Astaghfirullah…


Uniknya Bahasa

Beberapa hari ini saya tengah menikmati tugas menerjemahkan sebuah buku. Bukan buku sastra layaknya kawan-kawan saya terjemahkan. Tapi buku ilmiah terkait bidang ilmu yang tengah saya perdalam. Bagi sebagian besar mahasiswa, kecuali mahasiswa sastra inggris tentu saja, menganggap tugas menerjemahkan menjadi sesuatu yang “horor”. Buku ilmiah berbahasa indonesia saja harus beberapa kali dibaca agar paham maksud penulis, apalagi buku berbahasa lain.

Meskipun bahasa inggris hampir setiap waktu kita dengar, namun ternyata tidak dapat begitu saja dipukul rata penggunaannya, seperti juga bahasa indonesia. Ada bahasa komunikasi, ada bahasa tertulis. Ada yang formal, ada yang informal. Bahkan masing-masing bidang ilmu memiliki kosakatanya sendiri yang belum tentu semua orang tahu dan paham maksudnya. Sebagai contoh di bidang kearsipan, istilah archive lebih banyak dimaknai arsip statis atau arsip yang dikelola lembaga kearsipan, seperti ANRI. Namun ternyata, makna archive yang dimaksud buku yang sedang saya terjemahkan itu berbeda. Dalam buku Arranging and Describing Archives and Manuscripts, istilah arsip dimaknai sebagai dokumen tua, atau manuskrip, atw depo arsip (terjemahan lepas). Variasi makna sebuah kosakata menuntut kita untuk lebi cermat dalam menerjemahkan suatu buku atau artikel, apalagi jika keduanya berisfat ilmiah.

Pemahaman akan konteks kalimat atau paragraf yang sedang kita terjemahkan akan menjadi kunci penempatan makna kosakata yang tepat. Ilmu ini akan kita dapat jika kita bersedia menerjemahkan dengan cara manual. Perkembangan teknologi akhir-akhir ini mendorong tumbuhnya alat-alat terjemah otomatis, sebut saja translator elektronik maupun online yang sangat mudah ditemui. Ditambah dengan fasilitas dari google, yaitu google translate. Pekerjaan menerjemahkan menjadi semakin mudah dan tidak perlu waktu lama. Secara efektivitas waktu, penggunaan translator menjadi alternatif yang cukup banyak diminati, terutama di kalangan mahasiswa. Namun, dibalik kemudahan itu, tidak serta merta pekerjaan menerjemahkan menjadi semakin baik dan benar. Keterbatasan mesin translator dalam memahami konteks kalimat tidak dapat disetarakan dengan “perangkat lunak” yang dimiliki manusia. Hasil terjemahan translator dengan terjemahan manual akan terlihat jelas perbedaannya. Berikut saya berikan contoh sebuah paragraf dari buku yang sedang saya terjemahkan:

Paragraf asli:

Archival and manuscript repositories exist to preserve historical records and make them available for use. The subject of this manual is the internal operations which link those two goals. These operations involve accessioning, arranging and describing various sets of records. Arranging and describing are commonly joined under the rubric of processing. By making possible the use of records, processing givesmeaning to their acquisition and preservation. At the same time, processing is the key method by which archivists control and administer the records in their custody.

Terjemah translator:

Archival dan gudang-gudang naskah ada untuk menjaga catatan historis dan membuat mereka tersedia untuk menggunakan. Topik ini pedoman kemudian operasi dalam yang menghubungkan dua tujuan itu. Ini operasi-operasi melibatkan rekaman dalam urutan akuisisi, mengatur, dan mendeskripsikan bermacam-macam set-set rekaman . Mengatur dan mendeskripsikan biasa tergabung dalam rubrik pengolahan. Dengan membuat mungkin penggunaan rekaman, pengolahan memberi makna kepada mereka akuisisi-akuisisi dan pemeliharaan. Pada waktu yang sama, pengolahan adalah metode utama dengan mana pengendalian petugas arsip dan mengelola rekaman dalam mereka tahanan.

Terjemahan tanpa translator tapi masih menggunakan kamus (Kamus Oxford):

Keberadaan depo arsip dan manuskrip (naskah) bertujuan untuk melindungi dan menyediakan arsip agar dapat digunakan oleh pengguna. Untuk mencapai tujuan tersebut, depo melaksanakan kegiatan pengolahan, yang terdiri atas accessioning, penataan dan pendeskripsian beberapa jenis set arsip. Kegiatan pengolahan ini menjadi pendukung program akuisisi dan preservasi, serta menjadi cara bagi pengelola arsip untuk mengontrol dan mengelola arsip yang menjadi tanggung jawabnya.

Selain itu, ada satu hal yang menggelitik pemikiran saya ketika ada kawan yang menanyakan bahasa inggrisnya suatu slogan milik ANRI “Arsip sebagai Simbol Pemersatu Bangsa”. Dosen bahasa inggris saya sempat kesulitan memilih kosakata yang tepat. Saya kemudian berpikir, apakah jika kita bebicara di depan forum internasional, slogan berbahasa indonesia itu akan ditanyakan artinya apa adanya seperti kita menanyakan arti sebuah kalimat dalam bahasa inggris. Masyarakat internasional, terutama di forum-forum ilmiah, tentu tidak akan serta merta menanyakan arti ala kadarnya. Mereka akan menanyakan kandungan makna dari slogan itu. Apa makna arsip sebagai simbol pemersatu bangsa, bagi masyarakat Indonesia dan kaitannya dengan dunia internasional?Nah, itulah yang seharusnya kita jelaskan secara lebih terperinci.

Subhanallah… Tiada yang sia-sia dalam ciptaan Allah Swt. terutama bahasa. Jadi, jangan pernah minder manakala almamater kita adalah almamater budaya dan bahasa. Karena tanpa bahasa, secanggih apapun temuan sainstek, tidak akan dapat memberi manfaat bagi masyarakat banyak jika tidak melihat sisi bahasa dan budaya.

Wallahu’alam…


Problematika Matrikulasi Mahasiswa Lintas Jalur

Lain ladang, lain ilalang. Begitu kiranya yang dapat saya analogikan terkait metode pengerukan finansial yang dilakukan dua perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Tengah&DIY. Meski berbeda metode, namun tujuan akhir dari semua itu adalah uang alias duit alias valas bin fulus. Tujuan itu kemudian ditutupi atas nama kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Di kampus pertama saya menempuh studi selama 3 tahun, permasalahan SPMA kerapkali menjadi momok harian yang terus diperdebatkan. Apalagi memasuki tahun ajaran baru. Tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya mengundurkan diri hanya karena persoalan finansial. Kampus kerakyatan kemudian membatasi pengertian “rakyat” menjadi segelintir orang berkantung tebal. Perjuangan kawan-kawan mahasiswa yang tergabung dalam advokasi mahasiswa yang biasanya di bawah naungan eksekutif mahasiswa terus berkobar seiring dengan meningkatnya biaya SPMA. Lalu bagaimana dengan kampus kedua?

Modus yang digunakan agak sedikit berbeda. Di kampus kedua saya studi ini lebih menekankan pada aspek kulyah pemadatan alias matrikulasi. Kulyah ini umumnya diberikan oleh mahasiswa lintas jalur. Penyelenggara berdalih, “tidak ada ilmu yang tidak interdisipliner. Oleh karena itu, menjadi wajib bagi mahasiswa peminatan X untuk mempelajari ilmu mahasiswa peminatan Y, dan sebaliknya”. Sekilas, tujuan itu memang mulia. Mahasiswa menjadi tidak egois dengan ilmunya sendiri dan tidak memperhatikan kaitan dengan keilmuan lain. Namun, jika hal ini hanya merupakan alibi untuk mendapatkan “untung” dengan hasil akhir, mahasiswa hanya mendapatkan sertifikat dan kebingungan dengan spesifikasi ilmunya, tentu para pengajar akan mendapat dosa besar. Ilmu digunakan untuk mengeruk lembaran-lembaran rupiah hingga tidak jarang lulusan yang dihasilkan pun berorientasi profit-oriented. Sudah cukuplah kami dibingungkan dengan masalah output yang akan kami peroleh kelak setelah bergela alumni. Indonesia pun sudah terlalu banyak memiliki orang-orang interdisipliner yang cerdas, tapi sayang menjadi disorientasi ketika menghadapi problematika yang dihadapi bidang ilmunya sendiri.

Bebeapa waktu yang lalu, saya sudah menyinggung persoalan dilematika ilmu kearsipan dengan ilmu perpustakaan dengan mendasarkan pada ucapan salah satu dosen bahwa arsip dan perpustakaan itu sama. Sekali lagi, demi mendapat kesan legalitas untuk berjalannya mesin pengeruk uang melalui kulyah matrikulasi atau pemadatan. Perpustakaan dan arsip memang berada dalam lingkaran yang sama, yaitu bidang dokumentasi. Tapi sekali lagi, sebagai seorang akademisi dan atau praktisi, tidak seharusnya mencampur adukkan prinsip-pinsip dasar yang membedakan keduanya. Jika hal ini terus saja dibiarkan, bukan tidak mungkin antara teori dan praktik terus mengalami bentrokan paradigma dan metode pengkajian.


Perpusku yang Lucu

Hari ini adalah kunjungan saya yang ketiga kalinya ke perpustakaan fakultas. Kalau bukan karna’ tugas, saya enggan berkunjung ke sana. Lebih karena koleksinya yang sangat terbatas jika dibandingkan dengan perpustakaan kampus saya yang pertama.

Ada satu hal menarik yang membuat saya memutuskan bahwa inilah perpustakaan”lucu” yang saya temui. Jika di perpustakaan kampus pertama saya harus mengeluarkan banyak kartu untuk meminjam buku, di kampus kedua, pada dasarnya cukup dengan satu kartu. Ya, cukup KTM karna’ di dalamnya disebutkan “dapat digunakan untuk mengakses perpustakaan yang ada di lingkungan Universitas X”. Berbekal keyakinan itu, saya mencoba untuk meminjam buku yang memang akan saya gunakan sebagai referensi tugas. Namun, ketika saya menanyakan kepada salah satu petugasnya, “kamu sudah ngisi kertas ini belum?sudah mengumpulkan foto?”. Saya jawab dengan nada polos, “belum pak. lha khan di KTM katanya bisa buat ngakses perpus”. “Ya harus ngisi ini dulu. nanti dapet kartunya”. What?! Jadi yang dimaksud akses di sini hanya sekedar masuk&membaca buku tanpa meminjam. Luar biasa lucu. Seolah kalimat dalam KTM itu hanya suatu permainan semata untuk menunjukkan kecanggihan teknologi suatu perguruan tinggi negeri.

Hm…tugas saya jadi sedikit terhambat karna’ perkara kartu perpustakaan yang tidak diinfokan pada saat pembayaran uang pendaftaran. Alangkah Lucunya Perpusku.


Yang Senior, Yang Enerjik!

Sudah berjalan dua pekan masa studi saya. Beberapa dosen pun sudah bertatap muka. Banyak diantaranya yang usianya tergolong senior.

 

Pada umumnya, jika kita berhadapan dengan dosen senior, kesan pertama yang ditangkap adalah saklek, serius (kayak yang nulis gak serius aja.hehe…), tidak ada toleransi (sama aja saklek donk?), horor. Hal ini saya temui ketika di kampus pertama saya studi.

 

Tapi seperti kata pepatah, lain ilalang lain belalang. Ketika saya bertemu dengan para dosen senior di kampus kedua saya studi, ternyata berbanding 180 derajat. Pada prinsipnya mereka serius (ya iyalah…), cukup disiplin, tapi masih bisa toleransi, dan satu hal yang membedakan adalah sisi HUMORISnya. Penjelasan beliau-beliau ini sama jelasnya dengan dosen yang tergolong junior walaupun butuh waktu beberapa menit (tidak sampai 5 menit) untuk mencerna, tapi saya cukup memahami apa yang beliau jelaskan. Beliau-beliau ini tetap enerjik di masa senjanya, seakan tak kenal lelah mentransfer ilmu.

 

Saya jadi ingat banyak ulama kita yang juga tetap enerjik berkarya meski usia sudah memasuki senja. Bahkan di detik-detik terakhir maut datang, salah satu ulama kita masih tetap belajar, menimba ilmu. Subhanallah… Patut direnungkan dan diteladani oleh kita, generasi muda. Meski usia memasuki kepala 3, 4 dan seterusnya, tapi jangan pernah berhenti belajar dan mentransfer ilmu kepada siapapun. Usia yang semakin senja seharusnya tidak menjadikan alasan untuk tidak enerjik, apalagi yang masih muda.

 

Wallahu’alam..


Kata Siapa?

Ada satu pelajaran menarik yang saya dapat hari ini. Ini terkait masalah hukum bahwa pengakuan itu menjadi dasar hukum, tapi tanpa bukti yang menjadi fakta hukumnya, maka nilai suatu kasus tersebut akan sulit diteruskan alias lemah secara hukum. Pelajaran ini menjadi menarik bagi saya manakala dihubungkan dengan saluran pembuangan paling kotor yang dimiliki manusia. Iya, lisan alias mulut.

Istilah saluran pembuangan paling kotor saya kutip dari sebuah novel paling inspiratif. Lisan kita dapat menjadi saluran paling kotor jika kita tak mampu mengelola dengan baik, sesuai syari’at Islam. Lidah adalah pedang bermata dua. Terlalu banyak korban akibat kekejaman pedang bernama lidah ini. Suatu berita tanpa bukti kuat bahkan mampu membuat buruk sesuatu yang sudah baik. Sekali lagi hanya karena ungkapan tanpa bukti, kita mampu menghakimi kawan dekat sendiri, menuduh yang tidak baik bahkan kepada saudara kandung, kawan pun menjadi lawan.

Maka saya pun menjadi tertampar manakala membicarakan sesuatu yang berdasarkan “katanya” kepada salah seorang teman dekat. Ia selalu menanyakan, “kamu kata siapa?ada buktinya gak?Jangan disebarluaskan kalo’ gak ada buktinya!Sumbernya gak jelas lagi, gak bisa dipercaya. ghibah tau. gak mau khan jadi salah satu mata rantai sumber bencana?”. Seketika itu juga saya berpikir, iya juga. Kalau saya teruskan ke teman-teman yang lain, sama saja saya menyambung mata rantai ghibah yang bukan tidak mungkin menjadi fitnah karna’ tiadanya bukti. Sikap hati-hati dalam menelusuri sumber berita maupun bukti pun mutlak diperlukan manakala berita itu menyangkut kepentingan banyak orang. Hal ini sudah diterapkan dalam ilmu hadist, yang betul-betul memperhatikan sumber dari siapa hadist itu diriwayatkan&bagaimana latar belakang periwayatnya.

Lagi, masalah manajemen lisan yang kerapkali disepelekan. Ketika ada yang mengingatkan, kita menjadi acuh, gak gahol loe! Apakah gaul itu selalu identik dengan ghibah?

Wallahu’alam…


Belajar Memahami

Hari ini ada mata kulyah yang cukup menarik. Mungkin karena faktor dosen yang membawakan dengan fleksibel walaupun bagi sebagian kawan saya masih kesulitan mencerna penjelasan beliau. “Abis dulu di arsip gak diajarin sih”, begitulah alasan mereka setelah kelas dibubarkan.

 

It’s about abstraksi. Sebagian kawan-kawan pasti pernah berurusan dengan hal satu ini. Apalagi yang sering bolak balik membuat laporan penelitian, yang sudah pernah berskripsi maupun ber-TA, atau membuat paper. Membuat abstraksi untuk kepentingan pribadi mungkin tidak akan banyak menemui kesulitan. Tapi bagaimana jika kita diharuskan membuat abstraksi dari hasil karya ilmiah orang lain?Di sinilah sisi menariknya, bagi saya tentu saja. Dari berbagai pengertian yang diberikan dosen, satu hal yang wajib dipegang adalah berusaha memahami jalan pikiran si penulis, bukan si pembaca. Kita wajib menggunakan cara berpikir si penulis agar menghasilkan abstrak yang baik. Perlu diingat juga, dalam meng-abstrak, kita dilarang memberikan komentar apapun terhadap isi karya penulis. Dengan cara-cara demikian, kita diharapkan mampu memahami maksud dan tujuan dari si penulis melalui karya yang dibuatnya atau diterbitkan. Pada dasarnya tidak semua abstrak tidak boleh dikritik, ada juga abstrak yang boleh berisi kritik.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kadangkala kita merasa kesulitan untuk belajar memahami. Apalagi memahami sesuatu yang selalu bertolak belakang dengan pendapat kita. Asal melemparkan kritik di tempat dan situasi yang tidak tepat alias gak liat sikon. Enggan mengklarifikasi sesuatu yang kita terima. Ke-ego-an kita junjung tinggi. Astaghfirullah…

 

#self-evaluation#


Kosong

“Tadi aku ke jurusan, kata Pak A, dosen X gak bisa ngajar hari ini. soalnya jurusan ngasih taunya ndadak ke beliau. jadi beliau gak bisa dateng.”

 

“Terus yang kedua gimana?”

 

“Coba ta’hubungi”

 

Beberapa waktu kemudian

 

“Yang kedua juga kosong nih”

 

“Yah, kalo’ gitu sekalian aja yang terakhir dikosongin. siapa yang megang?”

 

“Pak Z”

 

“Oh, itu bapaknya baik kok. bisa kerja sama ama mahasiswanya”

 

“Tapi aku gak punya nomerny. kamu punya gak?”

 

“Gak punya juga”

 

“Duh, padahal masih lama nih”

 

“Aku pulang aja deh”

 

“Aku juga ah. udah ketauan bakal kosong juga”

 

Sesampainya di kos

 

“Rin, ternyata yang ketiga kosong juga”

 

“Oh ya sudah deh kalo’ gitu. gak ada salahnya juga nek aku pulang. hehe..thanks ya!”

 

Hari pertama kulyah. Lagi semangatnya eh ternyata jamnya malah kosong semua. Mangkel, kesel, jengkel? ada sih, tapi dikit. Kalo’ tau kayak gini, mending jadiin aja ke jogjanya. Tapi entah kenapa, pemikiran seperti itu justru tidak terlintas saat itu&baru datang sekarang ini. Alhamdulillah…Tuhan masih menjaga pikiran saya untuk tidak terlalu banyak mengeluh. hm…

 

Jam kosong saat pertama kali kulyah seperti sudah menjadi tradisi di kampus soshum, meski mungkin tidak semuanya. Apalagi kalo kita sengaja berangkat kuliah&mengorbankan sesuatu yang lain, yang menurut kita penting. Sekali lagi, saya diingatkan, segala sesuatu tidak ada yang sia-sia. Meski kosong, saya tetap datang ke kampus lebih awal. Sambil melihat-lihat suasana kampus baru, ruang-ruang dengan gedung yang memang benar-benar baru, tahu kalau musholanya ternyata belum disekat layaknya mushola stasiun Senen, tahu kalo’ ternyata ketika waktu sholat tidak dikumandangkan adzan, cukup memperkirakan waktu dari jam tangan atau yang menempel di dinding, bertemu dengan seorang akhwat yang saya sendiri lupa kita pernah bertemu di mana tapi dia bisa menebak bahwa namaku Rina (bukan berarti nama pasaran ya!hm.) padahal baru sekali itu ketemu muka. Bisa jadi karna’ masih baru, masih satu semester pindah. Masih serba seadanya. Semoga dalam satu semester ke depan, sudah perubahan, minimal ada kumandang adzan yang menandakan waktu sholat. Tentu kita tidak bisa mengandalkan jam yang bisa kehabisan batere di waktu yang tak terduga.

 

Saya juga bisa berbincang-bincang dengan kawan-kawan sekelas yang ternyata hanya berjumlah 8 orang. Cukup kondusif untuk belajar mengajar, tapi miris juga jika satu angkatan hanya berjumlah 8 orang, ini peminatan kearsipan saja. Belum jelas apa alasannya. Kelas saya termasuk beragam, jika dilihat dari segi umur. Ada yang sudah bekerja, ada yang baru lulus juga. Setidaknya saya tidak merasa paling anak kecil sendiri dalam satu ruangan. Hehe..

 

Well, bagaimanapun keadaannya, kita harus tetap bersyukur, dan berusaha mengambil hikmah dari setiap kejadian, sekecil apapun itu.

 

🙂