Problematika Matrikulasi Mahasiswa Lintas Jalur

Lain ladang, lain ilalang. Begitu kiranya yang dapat saya analogikan terkait metode pengerukan finansial yang dilakukan dua perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Tengah&DIY. Meski berbeda metode, namun tujuan akhir dari semua itu adalah uang alias duit alias valas bin fulus. Tujuan itu kemudian ditutupi atas nama kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Di kampus pertama saya menempuh studi selama 3 tahun, permasalahan SPMA kerapkali menjadi momok harian yang terus diperdebatkan. Apalagi memasuki tahun ajaran baru. Tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya mengundurkan diri hanya karena persoalan finansial. Kampus kerakyatan kemudian membatasi pengertian “rakyat” menjadi segelintir orang berkantung tebal. Perjuangan kawan-kawan mahasiswa yang tergabung dalam advokasi mahasiswa yang biasanya di bawah naungan eksekutif mahasiswa terus berkobar seiring dengan meningkatnya biaya SPMA. Lalu bagaimana dengan kampus kedua?

Modus yang digunakan agak sedikit berbeda. Di kampus kedua saya studi ini lebih menekankan pada aspek kulyah pemadatan alias matrikulasi. Kulyah ini umumnya diberikan oleh mahasiswa lintas jalur. Penyelenggara berdalih, “tidak ada ilmu yang tidak interdisipliner. Oleh karena itu, menjadi wajib bagi mahasiswa peminatan X untuk mempelajari ilmu mahasiswa peminatan Y, dan sebaliknya”. Sekilas, tujuan itu memang mulia. Mahasiswa menjadi tidak egois dengan ilmunya sendiri dan tidak memperhatikan kaitan dengan keilmuan lain. Namun, jika hal ini hanya merupakan alibi untuk mendapatkan “untung” dengan hasil akhir, mahasiswa hanya mendapatkan sertifikat dan kebingungan dengan spesifikasi ilmunya, tentu para pengajar akan mendapat dosa besar. Ilmu digunakan untuk mengeruk lembaran-lembaran rupiah hingga tidak jarang lulusan yang dihasilkan pun berorientasi profit-oriented. Sudah cukuplah kami dibingungkan dengan masalah output yang akan kami peroleh kelak setelah bergela alumni. Indonesia pun sudah terlalu banyak memiliki orang-orang interdisipliner yang cerdas, tapi sayang menjadi disorientasi ketika menghadapi problematika yang dihadapi bidang ilmunya sendiri.

Bebeapa waktu yang lalu, saya sudah menyinggung persoalan dilematika ilmu kearsipan dengan ilmu perpustakaan dengan mendasarkan pada ucapan salah satu dosen bahwa arsip dan perpustakaan itu sama. Sekali lagi, demi mendapat kesan legalitas untuk berjalannya mesin pengeruk uang melalui kulyah matrikulasi atau pemadatan. Perpustakaan dan arsip memang berada dalam lingkaran yang sama, yaitu bidang dokumentasi. Tapi sekali lagi, sebagai seorang akademisi dan atau praktisi, tidak seharusnya mencampur adukkan prinsip-pinsip dasar yang membedakan keduanya. Jika hal ini terus saja dibiarkan, bukan tidak mungkin antara teori dan praktik terus mengalami bentrokan paradigma dan metode pengkajian.

About Mujahidah 'Ilmiy

Berjuang, berdakwah dengan keilmuan Lihat semua pos milik Mujahidah 'Ilmiy

Tinggalkan komentar